Please! Nggak usah takut mengakui kesalahan. Siapa tahu, kamu bakal dapet hadiah seperti pemuda dalam kisah yang akan saya ceritakan ini.
Alkisah, ada seorang pemuda saleh yang sedang kelaparan. Ketika menyusuri sungai, tiba-tiba dia menemukan sebuah jambu mengapung di sungai. Tanpa pikir panjang, jambu itu langsung dia sikat. Dalam waktu singkat, jambu itu habis dia lahap dan perutnya pun terselamatkan dari bahaya kelaparan.
Tapi, saat itu pula, dia langsung dikejutkan oleh sebuah pikiran: dia telah makan jambu tanpa izin pemiliknya. Pikiran itu membuatnya betul-betul gelisah. Dia telah menyelamatkan perutnya dari kelaparan, tetapi dia telah menjerumuskan dirinya pada perbuatan hina: memakan buah jambu yang bukan haknya.
Si pemuda akhirnya memutuskan untuk menyusuri sungai hingga menemukan pemilik jambu itu. Di hulu sungai, dia menemukan pohon jambu dan sebuah rumah. Si pemuda langsung menemui seorang kakek yang terlihat berada di kebun itu. Setelah mengucapkan salam, pemuda itu langsung mengutarakan maksudnya. “Wahai kakek, saya datang ke sini mau minta maaf. Saya tadi memakan jambu dari pohon Anda yang hanyut di sungai. Saya akan berterima kasih kalau Anda merelakan jambu yang sudah saya makan itu. Tapi, kalau Anda nggak rela, saya siap menerima hukuman apa pun yang Anda kehendaki.”
Apakah si kakek itu merelakannya? Ternyata, si kakek itu beda dengan Pak Raden yang nggak rela jambunya dimakan oleh si Unyil dan teman-temannya. Sebagai hukumannya, si pemuda harus membantu si kakek memelihara kebun selama waktu yang ditentukan. Bukan hanya itu, kalau tugas itu selesai, si pemuda itu harus kawin dengan cucu si kakek. Wah, asyik, dong! Eit, tunggu dulu. Menurut si kakek, cucunya itu nggak bisa melihat, mendengar, bicara, dan berjalan. Wah! Celaka! Tapi, si pemuda nggak bisa menolak sebab dia sudah janji bakal menerima hukuman apa aja.
Sekian lama si pemuda menjalani hukuman— memelihara kebun jambu milik si kakek—hingga waktu yang menegangkan itu tiba. Dia akan dinikahkan dengan seorang “perempuan cacat” cucu si kakek. Saat pernikahan itu berlangsung, si pemuda kaget bukan main karena perempuan yang menjadi mempelai perempuan itu ternyata cantik bukan main. Nggak ada tanda sedikit pun bahwa dia itu memiliki cacat seperti yang disebutkan si kakek.
Dengan penuh heran, si pemuda bertanya pada si kakek, “Kek, nggak salah, nih? Katanya, cucu kakek itu nggak bisa melihat, mendengar, bicara, dan berjalan.”
Dengan tenang, si kakek menjawab, “Memang benar cucu saya itu nggak bisa melihat, mendengar, dan bicara hal-hal yang dilarang Allah. Dia juga nggak bisa melangkahkan kakinya ke tempat yang dilarang. Aku nikahkan cucuku itu kepada kamu karena aku yakin kamu adalah pemuda yang jujur.”
Wah, asyik banget! Sudah dapet jambu gratis, dapet juga istri yang cantik. Itu semua hadiah dari keberanian mengakui kesalahan. Zaman Rasul juga pernah ada yang mengakui kesalahan malah dapet kurma. Begini ceritanya...
Pada bulan puasa. Ada seorang lelaki yang datang mengaku telah berbuat dosa karena melakukan hubungan intim dengan istrinya, padahal dia sedang berpuasa. Maka, Rasul pun memerintahkan dia untuk puasa 40 hari berturut-turut tanpa putus. Jelas aja si lelaki itu nggak sanggup. Jangankan 40 hari, yang 30 hari Ramadhan aja nggak kuat. Rasul pun menurunkan kadar hukumannya, “Baik. Kalau begitu, kamu harus memberi makan fakir miskin sebanyak 40 orang.”
Akan tetapi, si pemuda itu masih keberatan. “Wah, Rasul, jangankan ngasih makan fakir miskin, ngasih makan anak-istri aja saya sudah ngos-ngosan.”
Lalu, Rasul memberi alternatif. “Kalau begitu, bagikan kurma ini kepada fakir miskin di sekitarmu,” kata Rasul sambil memberi sekantung kurma.
“Rasul, di daerah saya nggak ada orang yang lebih miskin dari saya,” kata si lelaki itu. Sambil tersenyum, Rasul berkata, “Sudahlah. Kalau begitu, pulanglah dan bawa kurma ini untuk kamu makan bersama keluargamu.”
Gila! Sudah bikin salah, dapet kurma lagi. Gimana nggak bijak, Rasul kita yang agung itu! Kalau sekarang kita punya pemimpin kayak Rasul, wah, kayaknya ngga bakalan ada koruptor, deh.
Disalin dari : Boleh Dong Salah! Penerbit DAR! Mizan, 2006, oleh Irfa AmaLee, halaman 88-91.
Komentar
Posting Komentar